Selasa, 03 Mei 2011

Minggu, 01 Mei 2011

Fiction: Sesuatu Itu...

Bisa dibilang aku kurang setuju dengan murid-murid (pada umumnya) di sekolahku. Kalau aku setuju, itu artinya sama dengan aku merestui nama baru untuk sekolah kami. Celebrity High School.

Hah! Menggelikan!

Kuberi satu contoh, kebetulan yang ini masih hangat. Sebenarnya ada banyak, tapi dengar saja yang ini.

Hari minggu lalu Randy tertangkap kamera dan disiarkan secara langsung di sebuah stasiun tv swasta dalam half time show di sebuah pertandingan basket nasional. Dia termasuk 1 dari 5 orang yang mencoba tembakan three points (mungkin dia cuma ingin masuk tv karena aku sama sekali tidak yakin dia bahkan bisa memasukkan satu bola dari garis free throw). Pak Yoga sang guru olahraga yang melihatnya secara tidak sengaja (karena seekor lalat yang dipukulnya mati tergencet di layar tevenya), tepat di pagi hari berikutnya sudah menceritakan hal itu pada anak-anak yang sedang berolahraga. Dua hari kemudian cewek-cewek di sekolah sudah mulai ramai membahas Randy. Bahkan gosipnya, kapten tim basket sekolah sudah mendekati Randy untuk bergabung dalam tim. Dialah artist of the week di sekolah.

Aku tidak habis pikir kenapa mereka tidak membuat audisi saja. Seorang artis itu haruslah keren. Dan jelas. Maksudku, harus jelas tentang apa yang dilakukannya. Seperti Kak Liam contohnya.

Lumayan banyak yang tertarik padanya. Saat masih kelas satu, hampir semua cewek-cewek di kelasku terpesona dengan sikap pemimpinnya yang terlihat tenang, bijak, dewasa, kalem dan sebagainya dan sebagainya. Walau begitu, sebenarnya dia cukup galak dan sangat disegani. Bahkan guru-guru kalau berbicara dengannya tidak seperti berbicara pada murid, tetapi pada seseorang selevel mereka.

Dia adalah kapten tim sepak bola sekolah. Kulitnya gosong, tampangnya agak galak dan selalu kelihatan serius. Suaranya juga agak serak karena dia sering berteriak. Tapi aku juga pernah mendengarnya berbicara dengan sangat lembut. Tubuhnya tinggi dan atletis, walaupun agak kurus. Dia adalah mantan ketua OSIS di sekolah. Waktu masa orientasi, dia sering menunjukkan pandangan mata pembunuhnya padaku karena waktu itu aku berpikir kalau aku mencari sedikit masalah, maka kakak kelas bisa dengan mudah mengenalku (mungkin karena itu hanya aku yang memperhatikan kalau matanya berwarna coklat, dan kalau tersenyum, dia manis sekali).

Oh! 
Satu lagi. Berani taruhan! Hanya aku yang pernah mendengarnya menyanyi (walaupun itu sempat mengurangi poin kekagumanku, suaranya sumbang! Dia langsung berhenti menyanyi waktu melihatku mengernyit).

Panjang umur! Dia baru saja lewat di sisi jendela bangkuku. Di depanku, saat melihat Kak Liam lewat, Leny langsung berkonsentrasi penuh pada pelajaran Pak Setio (guru sejarah paling bersejarah di sekolah). Padahal ceritanya tentang betapa pandainya manusia purba menemukan kapak batu lebih terdengar seperti petuah nenek moyang yang membosankan. OK! Mungkin kalau mereka tidak menemukan kapak batu, kita tidak akan mengenal benda jaman millennium yang kita sebut dengan pisau dapur. Itu keren!

Hanya beberapa menit setelah Kak Liam lewat, aku sudah mulai bosan lagi. Enak sekali anak-anak kelas 3. Mereka sering pulang lebih awal karena pelajaran mereka yang jauh lebih sedikit ketimbang kami anak-anak kelas satu dan dua. Lagipula kadang mereka hanya tinggal lebih lama untuk bertemu dengan wali kelas dan mengkonsultasikan apa yang sebaiknya mereka lakukan setelah lulus nanti. Aneh juga, karena rasanya, setelah lulus nanti kita seperti diutus keluar untuk berperang.
Sebuah gulungan kertas mendarat di depanku, dan setelah wajahku berputar hingga sembilan puluh derajat, aku melihat Ikki menunjuk-nunjuk Heri yang sudah lepas landas di balik diktat sejarahnya. Aku menyikut perut Heri dan dia terlonjak. Dengan mata merah dan wajah bingung dia bertanya padaku dengan panik.

"Hah? Apa?"

Aku mengulurkan gulungan kertas Ikki padanya. Dengan tampang kesal dan malas-malasan dia mulai membacanya. Setelah itu tampangnya menjadi makin kesal. Tapi yang dikatakannya malah membuatku bersemangat.

"Hah! Latihan bola jam 3?! Serius nih Liam?!"

Jam 3 ya? Setelah selesai dengan praktek biologi nanti, mungkin aku mau mampir ke lapangan bola sebentar. Hey! Asal tahu saja ya! Kalau Kak Liam sudah turun di lapangan, aku rela meninggalkan final piala dunia sekalipun (karena aku bisa menonton siaran tundanya di teve). Kalau Kak Liam sudah turun dan memberi komando di lapangan, itu kelihatan keren sekali!!!.
Setelah menjawab iya tanpa bersuara pada Ikki, Heri mendengus kesal dan kembali di runway-nya. Bersiap untuk lepas landas lagi.

Rencanaku untuk tinggal sebentar di sekolah dan menonton Kak Liam berlatih ditentang keras oleh teman-temanku yang sama sekali tidak memahami letak kekerenan Kak Liam karena menurut mereka, Kak Liam itu terlalu galak dan mengerikan dan terlalu tampak berkuasa untuk dijadikan idola. Sama sekali tidak tampak sisi seni dari Sang Mantan Ketua OSIS yang paling terkenal galak itu, jadi mereka memutuskan ikut denganku setelah aku bilang,

"Yang keren dari dia itu, nanti lihat aja sendiri!"

Kami sudah dalam perjalanan ke lapangan bola ketika Mita dan teman-temannya dipanggil Bu Kus. Aku hanya curiga saat praktek tadi cara mereka membedah katak terlalu brutal dan Bu Kus berniat menyelidiki apakah siswi-siswinya yang manis-manis itu memiliki kecenderungan menjadi semacam psikopat. Yah, mungkin Bu Kus belum tahu kalau mereka pernah dengan senang hati mempraktekkan kejahatan mutilasi pada beberapa ekor cacing.

Yakh!

Anehnya, cacing-cacing itu makin dipotong, malah makin banyak yang hidup. Kalau itu terjadi pada manusia, mungkin… AAAH! Sudaaah!!! Mungkin ide dari film Land of The Death itu munculnya dari cacing.
Untuk menuju lapangan sepakbola, adalah wajib untuk melewati ruang ganti di ujung belakang bangunan sekolah. Ruangan ini dipakai khusus untuk atlit-atlit sekolah yang akan berlatih. Hari ini ruang ganti cewek kelihatannya terkunci, sedangkan ruang ganti cowok pintunya sedikit terbuka. Rasanya aku belum bertemu siapapun. Jadi ada kemungkinan mereka semua sudah ada di lapangan. Aku masih berdiri di depan pintu ruang ganti cewek ketika melihat sebuah pemandangan yang merubah segalanya.

Dengan celana pendek berwarna merah dan sandal jepit putih, Kak Liam tiba-tiba muncul dari toilet di seberang ruang ganti. Kami bertemu di depan ruang ganti cewek. Sama sepertiku, dia terhenti di tengah lorong dan shock saat melihatku di situ. Mataku dengan reflek menatap tubuh atasnya yang terbuka dan tanpa terasa aku menahan nafasku.

Six pack! Untuk posturnya yang kelihatan kurus dibalik seragam, dia memiliki tubuh kekar yang sempurna dengan kulit coklat terbakar matahari. Dengan cepat dia melesat masuk ruang ganti dan aku menangkap suara yang mengatakan 'pulang sana!', dan...

Ouch!

TIDAK!!! Aku melihatnya!!! Sebuah bercak bulat berwarna coklat muda di punggungnya. Ternyata orang yang selama ini keren dengan penampilannya, ternyata, ternyata…

Hey! Tenanglah! Itu tadi hanyalah sebuah jamur parasit yang menempel di punggungnya yang atletis dan… Tapi tetap saja itu disebut panu!!!

Aku berbalik seratus delapan puluh derajat dan berjalan pulang secepatnya, seperti perintah kakak kelas yang juga mantan ketua OSIS itu perintahkan. Itu tadi sudah cukup. Kak Liam sudah terhapus dari daftar artisku. Aku rasa aku memerlukan artis yang baru untuk kupuja,

"Dia sudah nggak keren lagi!"

"Apa sih?"

Mita dan yang lain terus merengek dan mengorek keterangan dariku tentang Kak Liam. Tapi, tenang saja Kak! Ini adalah kesetiaan terakhir seorang penggemar sejati. Aku akan menutup mulut atas aib yang, mungkin cuma aku yang tahu, kalau ada sesuatu di balik punggungmu.

T^T