Kamis, 05 Agustus 2010

Treadstone's: The Last Stones

I
The Red Riding Hood Princess
Seharusnya ia menikmati tidur bergelung di atas ranjang empuk hotel yang disewanya dua hari lalu, bermalas-malasan karena jetlag bisa jadi alasan yang cukup wajar setelah penerbangan lintas benuanya. Tetapi sekarang, gadis berambut pirang panjang itu tengah berdiri di bawah shower membiarkan air dingin mengguyurnya.
Blus biru muda yang masih dipakainya tampak berwarna gelap dengan warna merah yang mulai luntur mengalir ke dalam lubang pembuangan. Gadis itu hanya menatap air berwarna merah yang tidak hentinya mengalir di lantai berwarna putih hingga dinginnya air mulai membuatnya menggigil. Ia menggapai gagang di hadapannya dan air hangat perlahan berganti mengguyurnya.
Nicolette Schmidt.
Seorang gadis berambut pirang panjang yang baru berumur dua puluh dua tahun sekitar tiga jam yang lalu. Tidak ada perayaan. Tidak ada makan malam atau sekedar secangkir teh sebagai ucapan selamat ulang tahun. Tidak akan ada. Tidak ada keluarga atau teman yang akan memberikannya ucapan selamat. Tidak akan ada karena mereka tidak ada.
Nicol mengikat kimono hotelnya yang tebal rapat-rapat karena tubuhnya mulai kedinginan lagi setelah guyuran air hangat dari shower. Matanya menatap laptopnya yang berkedip di atas meja di sisi tempat tidurnya dan ia segera mengeceknya untuk menemukan sebuah pesan baru.
INCOMING TASK...
Nicol mengetikkan beberapa huruf dan layar di hadapannya perlahan memunculkan sebuah foto.
“David?” alis Nicol bertaut tidak mengerti menatap foto pria berambut gelap dengan belahan pinggir rapi yang tampak di monitornya.
Klik!
Sebuah pesan masuk lagi membuatnya mengerutkan alisnya.
A. Renberg: Temui aku di Cafe Regine sekarang
Tanpa membuang waktu Nicol segera berpakaian dan meninggalkan kamarnya.
Cafe Regine adalah sebuah cafe kecil di sudut jalan. Bangunannya hanya satu tingkat dan dinding yang menghadap ke jalanan hampir seluruhnya terbuat dari kaca. Pagi itu, meja dan kursi yang biasanya sudah tertata di pelatarannya tampak dilipat merapat ke dinding. Dalam cuaca seperti itu tidak ada yang ingin menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di luar ruangan.
Nicol berjalan sambil menjejalkan tangannya ke dalam saku mantelnya. Nafasnya mengepul di depannya dan Nicol mencoba menaikkan bahunya agar krah mantelnya yang tinggi bisa menutupi mulutnya. Orang-orang sudah tampak berlalu-lalang dengan sibuk, mereka tampak sudah terbiasa dengan gulungan kabut yang cukup tebal menutupi kota dan salju yang turun dengan enggan.
Sekeping salju mendarat di ujung hidung Nicol yang memerah dan ia meniupnya jatuh di seberang Cafe Regine. Di hadapannya, sebuah sedan hitam berhenti dan Nicol dengan santai berjalan ke arahnya lalu menyandarkan tubuhnya di sisi pintu belakangnya. Jendela mobil itu perlahan terbuka dan tampak seorang pria dengan setelan gelap mengulurkan amplop coklat besar pada Nicol. Dengan enggan Nicol menerimanya dan mengintipnya.
“Kenapa?”

“Kau tidak perlu menanyakan alasannya, Red!” Nicol mengerling Renberg di dalam mobil kemudian kembali menutup amplopnya dan memasukannya kembali melalui jendela yang setengah terbuka.
“Kalau begitu aku menolaknya. Dia rekanku,”
“Rekanmu baru saja gagal. Tidak hanya gagal, dia ketahuan dan sekarang targetnya mengejar kita,” Renberg menolak membalas tatapan terkejut Nicol. Wajar Nicol bereaksi seperti itu, David adalah salah satu yang terbaik, mustahil dia gagal bahkan sampai membahayakan agensi.
“Kalau begitu biar kuurus buruannya,”
“Kau tidak bisa menutupi kesalahannya terus-menerus Red. Semua yang kau butuhkan ada di situ. Tugasmu sudah ditetapkan. Keretamu berangkat satu jam lagi, beri laporan dalam dua belas jam!” nada bicara Renberg menunjukkan ketetapan finalnya dan Nicol tidak bisa mengelak lagi. Iapun mengepit amplopnya dan meninggalkan mobil itu kembali ke hotelnya.
“Apa-apaan mereka mengirimku? Menghabisi David? Yang benar saja. Kenapa tidak terus terang saja mereka ingin menghabisiku?”
Nicol menumpahkan isi amplop ke atas meja. Sebuah buku kecil berwarna hijau dan selembar tiket terjatuh, lalu segepok uang mengikutinya dengan suara berat.
“Rubel?” alis Nicol mengkerut. Dia tidak pernah bermasalah dengan uang, tetapi ini adalah salah satu mata uang yang paling dibencinya.
"Ugh.. Sejak kapan dia menyukai hawa dingin?” Nicol mulai mengeluh lagi. Ia membuka buku hijau itu dan menemukan wajahnya terpampang dengan nama Katya Gornostayeva. Nicol mengecek tiketnya dan mengerling arlojinya. Masih ada satu jam sebelum keretanya berangkat dan dia harus segera membereskan barang-barangnya.

Terkadang Nicol merasa bosan dengan pekerjaannya. Panggilan yang tiba-tiba, tugas tiba-tiba, keberangkatan yang tiba-tiba, pembatalan tiba-tiba. Semuanya selalu mendadak dan terburu-buru tetapi tidak mengijinkan kesalahan sekecil apapun. Bodoh sekali dulu saat dia menolak untuk bertugas di bagian logistik. Saat itu ia memang masih terlalu bersemangat dan terlalu naif, tetapi sekarang, semua pekerjaannya terasa sangat melelahkan. Ia bosan terus berpindah tempat dan terus mengganti identitas. Ia ingin bersantai sedikit di balik meja.
Dan semoga saja ini adalah misi terakhirnya sebelum kantor pusat memberikan surat resmi yang memindahkannya dari petugas lapangan menjadi petugas logistik di Paris, kota kelahirannya. 

++++++++++

Sebenernya Last Stones adalah kisah standar tentang seorang cewek yang kebangsaannya nggak jelas karena dia seperti gipsy yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Nicol, seorang cewek jenius berbakat yang bosan pada pekerjaan lapangannya. Dia dan David berkenalan saat masih sekolah dan menjadi rekan selama setahun mereka bekerja bersama. 
Dua tahun kemudian Nicol dan David bertemu dalam kondisi yang berubah total. David yang kehilangan ingatan setelah mengalami kecelakaan menganggap Nicol yang mengawasinya sebagai musuh bahkan beberapa kali David hampir saja membunuh Nicol. Setelah itu David kembali menghilang dan Nicol memutuskan untuk pindah bekerja ke negeri lain. Niatnya untuk yang terakhir kalinya karena dia ingin berada sejauh mungkin dari David yang dianggapnya sudah mati di suatu tempat di dunia.
Tetapi David kembali muncul mengejar atasan Nicol dan melibatkan Nicol. Kali ini Nicol hanya bisa pasrah dan berniat membantu David walau David sempat mencurigainya. Dan walaupun ingatan David akan Nicol tidak pernah kembali, tetapi perasaan melindungi David tumbuh untuk menjaga Nicol, karena dengan berada bersamanya Nicol bisa jadi ikut diburu seperti dirinya. Mereka berdua tahu kalau selamanya mereka akan terus diburu, jadi David ‘membunuh’ mereka berdua lalu bersembunyi dan berharap mereka tidak akan pernah ditemukan.

Endingnya nggantung sih, terutama buat karakter David karena kita nggak pernah tahu apa ingatannya sudah kembali atau belum di akhir cerita. Sedangkan Nicol sepertinya benar-benar hidup santai di balik meja menjadi seorang dosen sebuah universitas di Asia. Ketegangan kisah diantara merekalah yang menghibur en lumayan buat dibaca ulang walaupun buat berhenti ditengah-tengah cerita adalah sebuah tantangan berat :D