Kamis, 28 April 2011

Fiction: Sepotong Kisah - Part I

Di tepi sebuah hutan di kaki gunung, berdirilah sebuah rumah. Rumah itu tidak begitu besar, tetapi dari luar tampak sangat nyaman. Di dalam rumah itu tinggal seorang wanita tua. Meskipun sudah tua, wanita itu masih sangat mampu mengurus dirinya sendiri. Di seberang hutan di belakang rumahnya, ada sebuah desa dimana putrinya tinggal. Dari putrinyalah wanita itu memiliki seorang cucu. Seorang gadis kecil.

Gadis kecil itu lahir saat tengah malam, saat bulan bulat penuh bersinar terang bahkan di tengah hutan yang gelap. Dan mungkin karena itulah gadis kecil itu memiliki kulit putih hampir pucat yang membuatnya seperti selalu bersinar di antara anak-anak lain. Dan yang membuat gadis kecil itu berbeda adalah, dia sama sekali tidak takut saat malam tiba. Dia seperti menjadi lebih berani saat bulan muncul.

Saat gadis itu merayakan ulang tahunnya yang kelima, neneknya datang dan memberinya hadiah yang terbungkus kertas berwarna coklat dan diikat dengan pita putih. Dengan penasaran gadis kecil itu membuka kadonya. Setelah pita dibuka dan lipatan kertas diuraikan, matanya melebar berbinar-binar. Dengan tangan kecilnya gadis itu mengangkat benda berwarna merah di hadapannya dan memandanginya dengan wajah memerah. Dan setelah memeluknya dan mengibar-ngibarkannya sambil berputar-putar, gadis kecil itu menubruk neneknya dan tersenyum lebar.

“Terima kasih nenek!”

Dan neneknya mengecupnya dan mengucapkan selamat ulang tahun sambil tersenyum. Kemudian, gadis kecil itu mulai kebingungan bagaimana harus memakai benda merah itu. Diapun berlari menghampiri ibunya dan memberikan hadiahnya pada ibunya, dia merengek agar ibunya segera memakaikan benda merah cantik itu padanya. Ibunya mengangkat benda itu dan dengan segera memasangnya di tubuh putrinya. Dia mengikat tali di kedua bahu putrinya dan terakhir menutup kepala putrinya dengan kerudung merah yang menggantung dari jubah merahnya. Setelah terpasang sempurna, gadis itu tersenyum lebar dan berputar-putar, membuat jubah merahnya berkibar. Saat itu, dia sudah sama sekali melupakan hadiah dari ibu dan ayahnya yang belum dibukanya dan masih tergeletak di lantai.

Dan disisa hari itu, gadis kecil itu terus memakai jubah merahnya hingga dia tertidur di sofa empuk di depan perapian, di pangkuan neneknya, berharap agar neneknya tidak pulang ke rumahnya di sisi lain hutan. Jadi, wanita itu tinggal bersama putrinya untuk malam itu.

IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Di tengah hutan, terdapat sebuah gua. Di dalam gua itu seekor luper* kecil tinggal sendirian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan kawanan luper lain dan dia sudah sangat terbiasa hidup sendirian di dalam guanya yang hangat.

Pada suatu siang, saat luper kecil itu sedang menikmati tidur siangnya untuk menghindari cahaya terang matahari, telinganya tiba-tiba bergoyang dan berdiri tegak saat menangkap sebuah suara di dekat mulut guanya. Dia menaikkan wajahnya sedikit untuk mengendus bau yang masuk dari luar gua, kemudian dia mendengkur dan kembali melanjutkan tidur siangnya. Di luar gua, seekor kelinci gemuk dengan bulu coklat melompat melewati mulut gua dan masuk ke dalam lubang di bawah pohon besar tidak jauh dari situ.

Sejauh yang bisa diingat luper kecil itu, dia belum pernah sekalipun melihat luper lain di dalam hutan. Dia sama sekali tidak tahu di mana orang tuanya atau bahkan apakah dia memiliki orang tua. Luper kecil itu sesekali berjalan ke desa dengan jubah berkerudung yang pernah ditemukannya di bebatuan di tepi sungai untuk menyembunyikan telinganya yang berbulu. Kadang dia hanya memandangi orang-orang yang kadang memberinya sepotong roti dengan wajah gemas, kadang dia berjalan-jalan tanpa tujuan mengelilingi desa dan memandangi anak-anak kecil yang berlarian. Kadang anak-anak kecil itu menatapnya lama-lama, kemudian mereka biasanya akan tersenyum lebar dan melambai padanya.

Terakhir kali dia berjalan ke desa, dia bertemu dengan gadis kecil yang memakai jubah merah. Gadis itu menatapnya dengan penasaran, dan saat luper kecil itu balas menatapnya, gadis itu tersenyum lebar dan menghampirinya, memberinya sebuah benda bulat berwarna-warni yang terasa manis. Belum pernah sekalipun luper itu mencicipi benda seperti itu. Dan untuk pertama kali, luper itu membalas senyuman yang diberikan padanya. Setelah itu, gadis kecil itu bersama wanita yang menggandeng tangannya meninggalkan luper itu duduk sendirian sambil menjilati benda bulat manis di tangannya. 

Hari itu terasa berbeda dari hari-hari biasanya, dan luper itu berharap akan bertemu lagi dengan si gadis berkerudung merah itu dan wanita yang bersamanya yang entah mengapa membuatnya merasa nyaman saat wanita itu menepuk kepalanya yang berkerudung dengan ringan.

Setelah matahari tenggelam dan bulan mulai berkuasa di langit, luper itu mengangkat kepalanya. Matanya yang berwarna hitam berkilat di dalam gelapnya gua, dalam sekejap warna hitamnya memudar dan digantikan pupil berwarna keemasan. Diapun berjalan keluar dari dalam gua, mencari sesuatu untuk sarapan malamnya. Pertama, luper itu berjalan ke arah sungai untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Dan setelah puas minum, luper itu mencuci wajahnya dan tangan juga kakinya yang sedikit kotor. Dia terbiasa melakukannya saat akan berjalan ke desa, dan lama-kelamaan, itu menjadi hal yang wajib dilakukannya. Malam itu, dia tidak ingin ke desa, dia ingin berjalan ke tempat lain. Arah sebaliknya.

Setelah beberapa saat berlari (berjalan versinya) luper itu sampai di dekat tepi hutan. Dia berhenti saat mencium aroma wangi yang seperti menguras seluruh isi perutnya, membuatnya lapar dalam sekejap. Dengan penasaran, luper itu mulai mendekati sumber aroma hingga sampai di tepi hutan. Sebuah rumah kecil berwarna coklat berpagar abu-abu dengan halaman depan yang dipenuhi bunga-bungaan tampak di hadapannya. Dari cerobongnya tampak asap tipis berwarna kelabu. Jendela rumahnya tampak bercahaya keemasan, dan luper itu hanya terbengong di pinggir hutan. 

Tanpa sadar kakinya perlahan membuatnya mendekati rumah itu, aroma wangi yang menyerbu hidungnya seperti membuat tubuhnya melayang, seperti ngengat yang otomatis terbang mendekat begitu cahaya tampak di depannya. Dan sebelum luper itu menyadarinya, pintu rumah itu terbuka dan seorang wanita tua berambut keperakan muncul dan menatapnya. Saking terkejutnya, luper itu hanya balik menatap wanita itu, sama sekali lupa menutupi telinganya yang mencuat di kedua sisi kepalanya. Walau begitu, wanita tua itu tersenyum padanya dan memanggilnya masuk. Dengan patuh luper itu berjalan mendekat dan berhenti di depan pintu, menatap wanita tua yang masih saja tersenyum padanya.

“Kau mau berdiri terus di situ atau masuk dan ikut mencicipi kaserol ayamku yang masih hangat di depan perapian?” tawar wanita itu membuat luper kecil itu menatapnya dan dengan gugup masuk ke dalam rumah. Wanita itu kemudian berjalan di depannya dan menyuruhnya duduk di sebuah kursi di depan perapian. Kemudian dia muncul lagi dengan dua buah piring berukuran sedang dan memberikan salah satunya pada luper itu. Dengan mata hitam berbinar, luper itu menatap sepotong kaserol di piringnya. Itu adalah benda paling sedap yang pernah diciumnya selain aroma manis permen yang pernah dicicipinya. Tambah lagi, benda itu mengeluarkan uap yang membuatnya susah payah menahan air liur. 

Luper itu kemudian melirik wanita tua di hadapannya, wanita itu memotong kaserolnya dengan garpu kemudian menusuk potongan kaserolnya dan memakannya. Dan luper itu mengikutinya (itu juga pertama kalinya luper itu memakai garpu dan piring untuk makan). Saat memasukkan kaserol itu ke dalam mulutnya, mata luper itu berbinar-binar dan dia mulai menghabiskan kaserolnya dengan lahap membuat wanita itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Setelah menghabiskan sepotong kaserol untuk yang kesekian kali, luper itu sekarang menggenggam cangkir yang mengepul. Cairan di dalamnya berwarna putih kental dan anehnya dia sangat menyukai baunya yang manis sekaligus gurih. Dia merasa pernah mencium aroma itu tetapi sama sekali tidak bisa mengingatnya. Perlahan luper itu mulai meminumnya, tetapi masih juga tidak mengingat kapan dan di mana dia pernah mencicipi rasa yang hampir serupa. Wanita itu masih saja menatapnya dengan diam hingga luper itu menghabiskan seluruh isi cangkirnya dan menggenggam cangkirnya sambil menjilati bibirnya yang ‘berkumis’ putih. Masih ada aroma susu yang tertinggal di cangkir itu, dan dia menyukainya.

“Apa yang kau lakukan di hutan?” tanya wanita itu memecahkan kesunyian. Luper itu hanya menatapnya tiba-tiba dan perlahan telinganya terlihat melemas, menyatu dengan rambut hitamnya yang mencuat. Mata luper itu kembali pada cangkir di tangannya.

“Aku, tinggal di hutan,” luper itu menjawabnya dengan lirih seolah dia baru saja bisa berbicara dengan suara manusia. Tanpa sadar wanita itu membelalak, tetapi dengan cepat dia menyembunyikannya dan tersenyum lalu mulai menanyai luper kecil itu pertanyaan-pertanyaan sederhana dan dijawab dengan singkat. Satu hal yang segera disadari wanita tua itu, anak kecil dengan wajah manis dan rambut hitam mencuat yang sewarna dengan matanya itu adalah anak luper yang entah bagaimana memiliki bentuk lebih menyerupai manusia (kecuali untuk telinganya), dan anak itu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya adalah seekor luper (atau makhluk setengah luper karena wanita itu tahu luper tidak bisa berbicara). Dan dari selera makannya, wanita itu langsung bisa menebak kalau luper kecil yang duduk di hadapannya sangat jarang memakan sesuatu yang masih berdarah dan sering berkeliaran di desa. Entah kenapa, luper kecil itu menyukai berada di dekat manusia, mungkin karena instingnya yang membuatnya lebih nyaman berada di dekat sesamanya.

*luper: serigala humanoid. Ukurannya dua kali serigala biasa dan tetap merupakan makhluk karnivora. Bukan manusia serigala.

1 komentar:

  1. ditunggu kelanjutannya..masih bingung nih,jadi berspekul luper sama anak berkerudung merah sodaraan atau bukan?

    BalasHapus